WARGA DEMONTRASI DI KANTOR BUPATI AKIBAT TPA BURANGKENG MEMBURUK
WILTAnews.Online.Kabupaten Bekasi – Ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNas), Bagong Suyoto buka suara terkait aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh Komunitas Prabu Peduli Lingkungan, Bangkit Tani Pasundan dan pemulung dari Desa Burangkeng. Aksi yang berjumlah sekitar 40 orang dilaksanakan pada Jumat 6 September 2924 di gelar di depan Kantor Pemerintahan Kabupaten Bekasi. Aksi demo masyarakat Desa Burangkeng mendapat pengawalan dari pihak Kepolisan dan Satpol PP.
Demontrasi tersebut dilakukan, setelah Prabu PL mengirim surat untuk berdialog dengan Pj Bupati Bekasi, namun tidak direspon. Kemudian memutuskan melakukan demontrasi dengan membawa satu truk sampah. Rencananya akan ditumpah di depan kantor Bupati, jika tidak menjawabnya.
Ditemui awak media WILTAnews di kediamannya, Bagong Suyoto mengatakan bahwa seharusnya Desa Burangkeng yang menjadi tempat pembuangan sampah dari seluruh wilayah Kabupaten Bekasi mendapatkan prioritas utama dalam berbagai pembangunan
“Sudah seharusnya Desa Burangkeng mendapatkan prioritas utama pembangunan, tapi sampai saat ini tidak punya sekolah tingkat SMP, SMA/SMK, Desa Burangkeng tertinggal baik pembangunannya maupun SDMnya “ungkap Ketua KPNas. Kamis (12/09/2024)
Bagong menerangkan TPA Burangkeng dengan masih menjalankan sistem Open Dumping sudah menyalahi aturan dan melanggar undang undang
“Pengelolaan TPA dengan sistem open dumping, sangat jelas melanggar UU No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, PP No. 81/2012 dan peraturan perundangan terkait. Pelanggaran itu terus berlangsung, mestinya TPA Burangkeng harus ditutup jika tidak diperbaiki pengelolaannya “jelasnya
“Warga punyak hak yang dijamin oleh UUD 1945, bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Hak mendapat lingkungan hidup yang baik, sehat dan berkelanjutan. Pasal 28H UUD 1945 dan Pasal 65 UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 33/1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia “sambungnya
Menurut Ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNas) ini, apa yang dikatakan merupakan fakta lapangan dan kajian ilmiah.
“Rapid Assessment Pengelolaan TPA Burangkeng yang dilakukan oleh Ditjen PSLB3 KLHK pada 2019-2020 menemukan sebanyak 37-41 masalah “imbuhnya
“Sementara kajian cepat yang dilakukan oleh PRABU-PL, KPNas, Asosiasi Pelapak dan Pemulung Indonesia (APPI) dan Karang Taruna Burangkeng menemukan permasalahan tersebut, Hal ini diperkuat sesuai hasil Rapid Assessment yang dilakukan oleh Ditjen PSLB3 KLHK RInpada tahun 2019. Berikut ini temuan kajian cepat, diantaranya: (1) TPA Burangkeng dikelola dengan distem open dumping; (2) Infrastruktur jalan TPA Burangkeng buruk; (3) Tidak ada penanggungjawab jalan menuju TPA Burangkeng; (4) AMDAL TPA Burangkeng tidak jelas: (5) Sarana pencucian kendaraan belum ada; (6) Workshop/bengkel belum ada; (7) Gudang belum ada; (8) Tim Monitoring dan Evaluasi (Monev) dengan melibatkan warga belum ada; (9) Tumpukan sampah dan zona TPA semrawut; (10) Resiko sampah longsor cukup besar; (11) Kebakaran sampah pada musim kemarau.(12) Penataan sampah dan cover-soil tidak sesuai standar; (13) TPA tidak punya infrasturktur dan sistem drainase keliling; (14) TPA tidak membangun pagar dan green-belt keliling; (15) Sampah longsor ke tanah warga; (16) Pepohonan mati; (17) Sampah dan leachate melimpas ke tanah warga; (18) Manajemen leachate dan gas-gas sampah tidak ada; (19) IPAS tidak memenuhi standar dan tidak dioperasikan (sekarang teurug sampah); (20) Sumur pantau tidak ada; (21) Pengujian laboratorium dan laporan tidak ada; (22) Leachate masuk ke sawah dan merugikan petani; (23) Kali sekitar TPA tidak diturap timbulkan bencana; (24) Jembatan menuju gerbang TPA tak terawat penuh sampah; (25) Belum ada kegiatan penghijauan; (26) TPA tidak punya taman dan RTH.(27) Upah karyawan TPA sangat kecil; (28) Pengobatan gratis dan mobil ambulance tidak ada; (29) Kompensasi tunai tidak ada/belum semua warga; (30) Bantuan air bersih belum memadai; (31) Partisipasi masyarakat terbatas dan semu; (32) Teknologi Pengolah Sampah sangat kecil dan tidak dimanfaatkan (kini terurug sampah); (33) Bantuan dan fasilitasi pemberdayaan masyarakat seperti untuk program 3R sampah belum ada; (34) Bantuan sarana pendidikan dan ibadah secara rutin belum ada; (35) Pembinaan pelapak dan pemulung belum dilakukan secara permanen dan serius; (36) Manajemen tertutup dan sarat korupsi dan suap; (37) SDM mayoritas tidak professional; (38) Beberapa bangunan teurug sampah; (39) Perawatan alat berat kurang berkualitas; (40) Didominasi sampah impor, terbesar sampah plastic; (41) Pengawasan dan peneggakan hukum tidak jelas dan lemah “terang Bagong Suyoto
Sementara pada saat unjuk rasa pada 6 September 2024, Orator, Tri Joko menceritakan pengalamannya, terkena dampak lansung dari pengelolaan TPA Burangkeng yang semakin buruk.
“Sudah bertahun-tahun warga terdampak pencemaran tidak mendapatkan perhatian Pemkab Bekasi. TPA dikelola dengan sistem open-dumping, sampah tidak diolah, air lindi tidak diolah, dan langsung mengalir ke kali dan sawah petani “ujarnya
Tri mengatakan seharusnya, seluruh warga Desa Burangkeng yang terdampak sampah mendapat kompensasi.
“Yang terdampak sampah jumlahnya 18.000 KK, namun yang mendapat kompensasi baru 1.500 KK sebesar 100 ribu perbulan, mana prinsip keadilan dan pemerataan “ujarnya.
Sementara Bang Nunu, Pembina Prabu PL mengatakan TPA dikelola secara open dumping sehingga banyak menimbulkan masalah.
“Seharusnya TPA Burangkeng sudah tidak dikelola secara open dumping, dari dulu dulu sudah disampaikan kepada Pemkab Bekasi tetapi kurang direspon. Desa Burangkeng menjadi kotor, bau busuk, Lindi (leachate) mengalir ke lahan pertanian, sampah berulang kali longsor, lingkungan semrawut, antrian truk sampah panjang dan berjam-jam setiap harinya, dan ini mengganggu warga “jelasnya.
“Setiap tahun sebanyak 300 miliar dana dikucurkan untuk TPA Burangkeng, tapi kondisinya buruk, tidak ada perubahan. Sementara proyek pengolahan sampah di Kertamukti menelan anggaran 50 Miliar, tapi hanya mampu mengolah sampah 30 ton perhari, padahal anggaran itu bisa olah sampah dengan kapasitas lebih besar dan teknologi yang lebih murah “lanjut Nunu
Moch. Hatta, Ketua Bangkit Tani Pasundan mengatakan bahwa kali Burangkeng itu merupakan kali alam, lebar dan jernih dan sudah ada sejak dari nenek moyangnya.
“Kali itu mulai rusak akibat adanya kegiatan pembuangan sampah, kali Burangkeng ini kali alam, dulu lebar dan airnya jernih, sekarang airnya menghitam seperti kopi dan bau, sebab dipenuhi air lindi. Ketika musim hujan air lindi membanjiri sawah dan merusak tanaman padi. Kondisi ini semakin parah ketika ada pembangunan jalan tol, saluran air jadi kecil, saat hujan jadi banjir. Pada musim tanam tahun ini , saya mengalami kerugian sekitar 7 jutaan karena tanaman padinya mati akibat terendam air lindi “ucapnya.
Dari aksi unjuk rasa tersebut ada beberapa tuntutan dari masyarakat Desa Burangkeng terdampak sampah kepada Pemerintahan Kabupaten Bekasi
Pertama, menuntut Keterbukaan Informasi Publik mengenai sampah pasar, khususnya koordinasi antara Dinas Perdagangan Kabupaten Bekasi dan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi
Kedua, menuntut pemberhentian Kepala Dinas Perdagangan Kabupaten Bekasi dan kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi
Ketiga, menuntut agar segera diterbitkan Perairan Daerah (Perda) tentang Pengelolaan Sampah di Kabupaten Bekasi
Keempat, menuntut pemberian jaminan kesejahteraan kepada para pemulung yang membantu mengurangi volume sampah di TPA Burangkeng
Kelima, menuntut terciptanya kenyamanan dan keadilan bagi warga sekitar TPA Burangkeng yang terdampak, termasuk pemerataan kompensasi tunai kepada seluruh warga Desa Burangkeng, penyediaan fasilitas kesehatan yang memadai, pelaksanaan program pemberdayaan pemuda san sebaginya
Keenam, menuntut segera dibangun Instalasi Pengelolaan Air Limbah dan Sampah (IPAS) untuk mengolah air lindi dari tumpukan sampah, melibatkan aktivis dan penggiat lingkungna dalam proses pembangunannya
Ketujuh, menuntut segera dibangun infrastruktur pengurangan sampah organik dan anorganik dengan melibatkan aktivis dan penggiat dalam proses pembangunannya
Kedelapan, menuntut segera dibentuk kelompok kerja penanganan sampah yang melibatkan aktivis dan penggiat lingkungan sebagai anggota aktif dalam struktur DNA kegiatan operasionalnya.(Red).