Bagong Suyoto
Ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNas)
Ketua Yayasan Pendidik Lingkungan Hidup dan Persampahan Indonesia (YPLHPI)
WILTAnews.Online.BEKASI – Menurut pakar BRIN kerugian akibat sampah plastik bocor ke laut sebesar Rp 225 sampai 250 triliun setahun atau beberapa tahun. Lalu, siapa yang menanggung kerugian tersebut. Berdasarkan investigasi korban dan kerugian terbesar ditanggung nelayan dan masyarakat pesisir. Mereka tiap tahun mengalami kerugian parah akibat tangkapan ikan turun draktis, 50-60 persen, demikian para petambak udang dan ikan bandeng, dll.
Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Oseanografi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Muhammad Reza Cordova menyatakan, potensi kerugian negara akibat kebocoran sampah plastik ke laut mencapai Rp 225 triliun per tahun.
“Setelah kami hitung dari 2018 sampai 2023 secara kasar, rata-ratanya kurang lebih sekitar 484 ribu ton per tahun (sampah plastik) yang bocor ke lautan dunia dari kegiatan masyarakat kita. Kerugian kita antara Rp 125 triliun sampai Rp 225 triliun per tahun,” kata Reza, pada Media Lounge Discussion (MELODI), bertajuk Kebocoran Sampah Plastik ke Laut Indonesia dan Strategi Penanganannya, di Gedung B.J Habibie, Jakarta, Rabu (11/9).
Indonesia selalu serba terbesar di dunia, deforestrasi terbesar, pertambangan pasir, pertambangan terbesar mineral dan gas alam, perdagangan karbon, pembabatan mangrove, dalam urusan sampah dan lingkungan, Indonesia dimasukkan kedalam pencemar bumi terbesar di dunia akibat pengelolaan sampah yang buruk. Bukan hanya sampah plastik yang menakutkan masa depan kehidupan, melainkan juga limbah cair mengandung logam berat yang dibuang ke sungai dan laut.
Konteks tersebut tampak dalam pemberitaan media massa belakangan, pengelolaan sampah buruk menghiasi kota, contoh kasus sampah Yogyakarta, Depok, Bogor, dll. Sampah terhampar di lahan kosong, pinggir jalan, drainase, DAS, dan badan sungai, pesisir dan laut. Hal ini diperberat sejumlah daerah tidak punya TPA sampah sendiri, seperti Tangerang Selatan, Serang, dll, juga beberapa daerah TPA-nya sudah penuh dan darurat, seperti TPST Bantargebang, TPA Sumurbatu, TPA Burangkeng, TPA Cipayung Depok, TPA Degayu Pekalongan, dll.
Pada 11 September 2024 saya dapat kiriman vevideo dari wartawan Bekasi. Yakni video berisi berbagai jenis sampah padat dan cair masuk ke kali CBL (Cikarang Bekasi Laut) menuju Muara Blacan Muaragembong. CBL sedang dibanjiri sampah. Kemudian video itu dipublikasikan oleh bekasivoice.com dan tvOnenews.com.
Kasus ini diperparahnya dengan matinya sejumlah ikan di Kali Citarum akibat keracunan limbah cair pada Jumat, 13 September 2024. Kasus ikan mati ini karena ada hujan beberapa hari dan kemungkinan besar sejumlah pabrik membuang limbah cairnya ke Kali Citarum.
Pantai utara Jawa dan Bali jadi langganan sampah plastik dan jenis sampah lain ketika musim hujan volume timbulan sampah yang masuk ke sungai, pantai dan laut semakin banyak. Apa penyebabnya? Tingkat kesadaran berbagai pihak rendah, pengelolaan sampah di darat masih buruk, dan masih banyak faktor penghambatnya.
Banyak sampah liar. Sungai jadi tong raksasa sampah. Tragedi lingkungan terjadi akibat berbagai jenis limbah menuju ke pesisir dan laut, seperti plastik, styrefoam, busa, karet, kain, kayu, dll. Bahkan, limbah medis berlabuh di pesisir dan laut. Indonesia disebut sebagai salah satu penyumbang sampah plastik di laut terbesar kedua, setelah RRC.
Laporan National Plastic Action Partnership (NPAP), Kemenko Marves 2019 menyebutkan, bahwa: 1) Indonesia sebagai pencemar laut terbesar kedua setelah RRT/China akibat sampah plastik; 2) Indonesia menghasilkan sampah plastik 6,8 juta ton/tahun, terus tumbuh 5%/tahun; 3) Sekitar 4,8 juta ton/tahun sampah plastik salah kelola; 4) Sebanyak 48% sampah plastik dibakar secara terbuka; 5) Sebanyak 13% sampah plastik dibuang di tempat penimbunan terbuka resmi. Sementara sampah plastik yang mengalir ke laut sekitar 30%.
Menurut data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) KLHK, penginputan data oleh 112 kabupaten/kota se-Indonesia pada 2023, mencatat timbulan sampah sebanyak 18.081.278,88 ton per tahun, pengurangan sampah 2.925.025.53 ton atau 16,18 persen per tahun, penanganan sampah 9.174.646,60 ton atau 50,74 persen pertahun, sampah terkelola 12.099.672,33 ton atau 66,92 persen per tahun dan sampah tidak terkelola 5.981.606,75 ton atau 33,08 persen pertahun.
Sementara itu untuk sumber sampah pada tahun 2023 didominasi dari sampah rumah tangga sebesar 38,9 persen yang dominasi oleh sampah sisa makanan yakni 41,6 persen.
Menurut studi dari University of Leeds, Inggris, Indonesia ditetapkan sebagai negara penyumbang sampah plastik terbanyak ketiga di dunia. Dalam riset ini dibantu dengan pemodelan teknologi kecerdasan buatan (AI), mengungkapkan ada 10 negara yang bertanggung jawab atas sampah plastik terbesar setiap tahunnya.
Sejumla media media terkemuka meliris informasi tersebut. Daftar negara penyumbang sampah plastik terbesar di dunia menurut studi Universitas Leeds (2020): (1) India: 9,275,777 ton; (2) Nigeria: 3,532,479 ton; (3) Indonesia: 3,352,229 ton; (4) China: 2,808,179 ton; (5) Pakistan: 2,567,461 ton; (6) Bangladesh: 1,748,215 ton; (7) Russia: 1,702,453 ton; (8) Brasil: 1,444,824 ton; (9) Thailand: 995,718 ton; (10) Republik Demokratik Kongo: 963,328 ton.
Permasalahan Nasional
Permasalahan pengelolaan sampah di Indonesia masih buruk disebabkan beberapa faktor. Pertama, publikasi yang diterbitkan sejumlah kementerian, seperti Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Kemenkomarves, Kementerian LHK, Kementerian PUPR, Kemendagri, dll sangat bagus, berdasarkan teori dan fakta-fakta yang bagus, sedangkan sebagian besar fakta yang jelek tidak ditampilkan. Publikasi itu menggambarkan cerita sukses, namun dibalik itu ada persoalan besar menjadi gunung es yang tidak dibuka ke publik.
Kedua, perencanaan yang disusun pemerintah pusat di atas kertas tidak mencerminkan fakta seluruhnya dan pelaku aras menengah dan bawah pengelola sampah. Perencanaan itu sulit dipahami dan ditafsirkan dalam implementasi oleh aras menengah dan bawah. Selalu berdalih, pemerintah pusat hanya menyediakan kebijakan. Tetapi, ada sejumlah pekerjaan teknis dilakukan pemerintah pusat, contoh pembangunan TPA sampah dan infrastruktur pendukung dilakukan Kementerian PUPR.
Ketiga, kesadaran masyarakat dalam pengelolaan sampah masih rendah. Tetapi, pemerintah tidak melakukan rekayasa sosial agar keterlibatan masyarakat membesar dan kuat. Memang membangun kesadaran masyarakat butuh proses dan waktu panjang. Namun, semua itu butuh pemantik dan pendorong agar masyarakat respek dan tertarik, seterusnya mendukungnya. Di sini perlunya kerja-kerja advokasi.
Keempat, koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah masih bermasalah. Pemerintah pusat penyedia kebijakan sedangkan pemerintah kabupaten/kota sebagai pelaksana teknis. Masalahnya, kebijakan tidak bisa diimplementasikan secara memuaskan jika tidak ditopang kemampuan memahami dan menafsirkan policy itu, serta tidak dukung anggaran yang mencukupi. Permasalahan sampah di kabupaten/kota selalu berdalih karena anggaran kecil. Apalagi ada vested interest tertentu pada pelakunya, akan menjadi bertambah sulit.
Kelima, yang sangat riskan dan menghadang bahaya adalah tidak ada pemisahan antara regulator, operator dan pengawas/penegak hukum. Regulator juga bertindak sebagai operator pengelolaan sampah. Keterlibatan entitas swasta tidak jelas. Kondisi buruk ini sudah berlangsung selama dua atau tiga puluh tahun lebih.
Keenam, pengawasan dan penegakkan hukum lemah. Permasalahan ini berkaitan erat dengan faktor kelima, yakni tugas pokok dan fungsi regulator, operator sekaligus penegak hukum berbaur jadi satu. Ini merupakan persoalan laten di Indonesia.
Ketujuh, sampai sekarang tidak ada penanggung jawab pengelolaan sampah secara nasional yang punya otoritas penuh dan permanen dan bertanggungjawab langsung pada presiden. Sejumlah Kementerian/badan punya Dirjen/Ditjen/Deputi pengelolaan sampah, mereka bertanggungjawab pada Menteri-nya masing-masing, tetapi secara manajerial dan administrasi negara tidak ada top eksekutipnya. Bayangkan, apa yang terjadi? Boleh jadi kekacauan atau mal-fungsi!
Contoh rancangan yang disusun oleh NPAP. Merupakan kolaborasi multipihak yang bertujuan untuk mengurangi 70% sampah plastik di lautan Indonesia pada 2025. Rencana Aksi Nasional Pengelolaan Sampah Plastik disusun berdasarkan pendekatan preventif dan menggunakan hierarki sampah terkait 3R (Reduce, Reuse, dan Recycle). Ini berpijak pada Perpres No. 83/2018. Tentu rujukannya pada UU No. 18/2008, UU N0. 32/2009, PP No. 81/2012 dan peraturan terkait.
Pendekatan ini sejalan dengan kebijakan nasional pemerintah berdasarkan pernyataan kebijakan, “Vistas of Prosperity”, serta pandangan (sebagaimana tercantum dalam “Kebijakan Lingkungan Berkelanjutan”) bahwa “Perekonomian linier di mana produsen memproduksi barang dengan menggunakan penggunaan bahan baku yang ada dan pembuangan limbah ke lingkungan akan digantikan dengan ekonomi sirkular dimana limbah suatu industri dapat digunakan sebagai bahan baku di industri lain (Re-Use, Recycle, Re-Purpose). Hal ini akan menciptakan zona eko-industri dan membuka jalan bagi ekonomi hijau”.
Kemenko Marves (2019) memberi solusi. Sampah plastik harus dipilah berdasar geografi dan jenis plastik. Perlu tindakan dan investasi di seluruh sistem plastik: Pertama, mengurangi atau mengganti penggunaan plastik untuk penggunaan 1 juta ton pada 2025 (13%). Kedua, merancang ulang plastik dan kemasan plastik agar dapat digunakan kembali atau didaur-ulang dengan nilai tinggi. Ketiga, menggandakan pengumpulan plastik. Keempat, menggandakan kapasitas daur ulang. Kelima, membanguan atau memperluas fasilitas pembuangan akhir terkendali. Keenam, sistem plastik yang sirkular dan bebas polusi pada 2040 dapat menurunkan biaya sistem sampah dan memaksimalkan manfaat lingkungan dan sosial.
Pendekatan yang dibahas dalam laporan ini juga sesuai dengan Kebijakan Nasional Pengelolaan Sampah dan Kebijakan Nasional Konsumsi dan Produksi Berkelanjutan. Penting untuk memprioritaskan pendekatan 3R dan berupaya menuju Zero Landfill. Kegiatan utama dari rencana ini adalah memfasilitasi pengumpulan sampah plastik yang telah dipilah dan mendaur ulang sampah plastik sebagai bisnis yang menguntungkan untuk menghasilkan bahan baku berkualitas bagi industri plastik.
Rencana aksi tersebut kurang dipahami oleh arus menengah dan bawah pengelola sampah. Mungkin istilah-istilah yang dipakai terlalu melangit dan menjauh dari daratan. Mungkin, mengikuti perkembangan cepat dunia internasional, dan kurang melekat pada kearifan lokal.Dalam kerangka rencana aksi tidak jelas adanya dukungan pendanaan bagi kelompok-kelompok aras bawah, apalagi sektor informal pengelola sampah.
Kita perlu memadukan antara berbagai kekuatan dan kebijakan di tingkat pusat dengan kearifan lokal yang berkembang di masyarakat. Pemerintah kabupaten/kota akan lebih memahami kekuatan kearifan lokal di daerahnya masing-masing. Menejemen pengelolaan sampah kabupaten/kota harus membuka peluang terhadap kekuatan kearifan lokal tersebut dalam menyelesaikan permasalahan sampah.(Red). *20/9/2024*