HAMBATAN BERAT PELAKU 3R SAMPAH DI TPST BANTARGEBANG DAN TPA SUMURBATU

Oleh: Bagong Suyoto
Ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNas) dan
Ketua Umum Perkumpulan Pemulung Indonesia Maju (PPIM)

WILTAnews.Online.Kota Bekasi – Seorang pakar dari perguruan tinggi swasta di Jakarta menanyakan permasalahan apa yang dihadapi pelaku 3R (reduce, reuse, recycle) di sekitar TPST Bantargebang dan TPA Sumurbatu belakangan? Pakar tersebut sedang membimbing mahasiswa yang sedang menyusun thesis program magister. Mereka yang bergerak di aras rantai pasok bahan baku daur ulang tersebut, diantaranya: pemulung, pelapak, tukang sortir, pencacah plastic, proses biji plastik, dll.

Read More

Tindakan-tindakan pelaku circular economy aras bawah ini dapat dikatakan mendekati teori kolektivitas Amitai Etzioni (1966, 1968), yang diketengahkan kaum fungsionalis, bahwa tindakan manusia semata-mata produk sistem sosial mereka. Aturan-aturan sosial dilihat bertebaran tanpa bisa dikendalikan manusia. Di sisi lain yang ekstrim terdapat teori struktural C. Wright Mills, Power Elite (Oxford University, 1959a), merupakan suatu pendekatan voluntaristik yang menggambarkan adanya kelompok orang yang sangat mampu menjalankan aturan sosial sebagaimana yang dikehendaki.

Teori kolektivisme dan voluntarisme” merupakan “societal guidance” Etzioni. Teori ini tak hanya melihat manusia mampu melakukan tindakan sosial, tetapi juga mengakui adanya kendala atau keterbatasan tindakan itu. Kendala itu bagian dari hasil tindakan manusia dan struktur yang dibikin kekuasaan, sehingga manusia dibatasi dalam tindakannya. Hal ini dialami oleh para pelaku circular economy aras bawah, selama bertahun-tahun menghadapi kendala dan sulit meningkatkan taraf hidupnya.

Saya berikan fakta-fakta selama kurun lebih dua tahun, 2020 sampah 2024. Saya bicara pada pakar tersebut, mulai dari setting geograpi, demograpi, sosial budaya, ekonomi hingga politik terbaru. Permasalahan serius yang ditemui di lapangan jumlah cukup banyak.

Keberadaan 6.000 pemulung di TPST Bantargebang dan TPA Sumurbatu – apa pun pandangan pemerintah – telah memberikan kontribusi cukup konkrit. Mereka mereduksi sampah non-organik lebih dari 70% dari total sampah non-organik. Sampah non-organik menjadi urusan pemulung, tinggallah sampah organik yang belum tertangani. Pemulung bekerja dengan prinsip-prinsip 3R sampah, seperti yang dikampanyekan banyak pihak. Ribuan pemulung sudah menikmati tambang emas hitam itu.

Mereka bermukin dan beranak pinak di sekitar kedua TPST/TPA tersebut. Separoh diantara mereka adalah pemulung pendatang dari berbagai daerah di Indonesia seperti Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Palembang, Lampung, Banten, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan, Nusa Tenggara Barat, dll. Mayoritas pemulung berasal dari Babelan, Kerawang, Subang, Indramayu, Cirebon, Jonggol, Banten, Madura.

Sebanyak 400 orang mengais sampah di TPA Sumurbatu. Jumlah pelapak sekitar 600 pelapak kecil, menengah dan besar. Sebagian besar pengais sampah di TPST/TPA tersebut adalah penduduk asli. Dulu mereka bekerja di sektor pertanian, kerajinan rakyat, sektor informal, tukang ojek, dll. Belakangan karena aset produksi lenyap berpindah ke sektor persampahan, ada yang menjadi pemulung, kuli sortir/cuci plastik, pelapak skala kecil, dll. Mereka telah menikmati berkah dari sampah.

Pemulung pendatang pada umumnya menempati gubuk-gubuk kardus, triplek, karung/terpal, seng bekas yang tersebar di Kelurahan Cikiwul, Ciketingudik, Sumurbatu Kecamatan Bantargebang, Kota Bekasi dan Desa Taman Rahayu Kecamatan Setu, Kabupaten Bekasi.

Kondisi gubuk-gubuk komunitas pemulung itu merupakan suatu panorama sangat mengenaskan bagi sebuah kemanusiaan dan peradaban. Permukiman mereka berada dalam lingkungan yang tercemar, kumuh, jorok, sangat bau dan sanitasinya sangat buruk. Kondisi demikian diperparah adanya banjir. Sejumlah pemukiman pemulung menjadi langganan banjir ketika musim hujan tiba. Pertama, karena letaknya yang rendah, dulunya bekas galian tanah atau sawah tadah hujan. Kedua, tidak ada saluran air.

Timbulan sampah semakin banyak di TPST Bantargebang dan TPA Sumurbatu menjadi gunung-gunung sampah dengan ketinggian 40-50 meter, sebab yang diolah sekitar 15-20% dari total sampah yang masuk tiap hari. Meskipun tersedia beberapa teknologi pengolah sampah. Akibatnya pencemaran udara dari gas-gas sampah dan operasional TPST merajalela, seperti gas metana (CH4), CO2, dll, sedang pencemaran air dan tanah berasal dari leachate semakin massif. Ketika musim kemarau terjadi kebakaran dan ketika musim hujan terjadi longsor.

Gunung-gunung sampah semakin tinggi dan tidak tertata dan di-cover soil berpotensi longsor. Buntutnya pemulung, operator alat berat, supir truk sampah dan mereka yang beraktivitas di zona aktif sangat wawas-wawas terurug sampah bila sewaktu-waktu longsor.

Bahkan, pemulung dilarang mengais sampah di beberapa zona yang rawan longsor. Dampaknya income menurun, biasanya mendapat 100-150 Kg/hari setara dengan Rp 100.000-150.000. Sekarang dua hari mengais sampah hanya memperoleh penghasilan Rp 60.000-70.000. Terjadi penurunan income sekitar 50%.

Sekitar TPST/TPA terdapat ratusan pemukiman kumuh, berupa gubuk-gubuk yang ditempat pemulung. Gubuk-gubuk tersebut berada di lingkungan tercemar dan berserakan berbagai sampah sisa-sisa sortir. Gubuk-gubuk tersebut terbuat dari material bekas, kumuh, bacin dan sanitasi sangat buruk. Kondisi ini sangat berpengaruh pada kesehatannya, terutama anak-anak dan perempuan hamil.

Perkembangan pengelolaan berbagai jenis sampah, seperti plastik, kertas, kaca/beling, karet, besi, dll. Selain gubuk-gubuk, ada tumpuk-tumpukan sampah yang akan disortir, juga dalam komunitas pemulung dan pelapak itu terdapat pencacahan plastik.
Sekarang ini mereka semakin pusing karena harga-harga berbagai jenis sampah pungutan (domestik) terjun, 50-70%. Misal harga plastik PET/botol mineral Rp 8.000/kg terjun hanya Rp 3.500-4.000/Kg. Plastik emberan Ketika harga normal Rp 3.000/Kg turun tinggal Rp 1.500/Kg. Harga terjun bebas dialami pemulung sejak Januari 2023.

Akibat harga turun terus tersebut pemulung, pelapak dan pencacahan plastik sulit memperoleh uang, juga sulit membayar angsuran bank, angsuran (kredit) sepeda motor atau mobil. Akhirnya puluhan mobil pickup yang digunakan mengangkut sampah dan sepeda motor ditarik leasing.

Sejumlah pemulung, pelapak dan pencacah plastik ada yang terjerat hutang dengan bunga tinggi, 10-12% per bulan, bahkan ada yang lebih. Disini berkembang sistem ijon atau sistem ekonomi rente sehingga banyak diantara mereka terjerat hutang.

Pemulung terjerat permainan sistem ijon bos/pelapak. Semua ditentukan oleh bos, terutama harga sampah pungutan campuran. Sekarang harga sampah campuran/gabrugan Rp 700-800/Kg. Saat harga normal Rp 1.200-1.400/Kg. Pemulung tidak bisa menentukan harga. Dalam model ekonomi tersebut, pemulung berada pada rantai paling dasar dan selalu jadi korban.

Pemulung, pelapak maupun pencacah plastik yang mengelola sampah di sekitar TPST/TPA tidak mendapat dukungan keuangan dari pemerintah. Pada umumnya mereka swadaya/modal sendiri, pinjam ke bank, pinjam ke rentenir dengan bunga tinggi, dll.

Mereka, mayoritas lulus SD dan SD tidak tamat, bahkan ada yang buta huruf. Karena mereka ini bagian dari klasifikasi sektor informal.

Masih belasan permasalahan yang dihadapi pelaku circular economy aras bawah, seperti ketahanan panganan lemah, stunting melanda sejumlah anak pemulung, putus sekolah, kawin muda, kenakalan remaja dan narkotika, dll. Kehidupan mereka masih serba kelam, dan membutuhkan pertolongan ke arah yang terang.

Peran Tokoh dan Aktivis Lingkungan

Masyarakat di sekitar TPST Bantargebang terutama di tiga kelurahan yaitu Cikiwul, Ciketingudik dan Sumurbatu mempunyai peran sangat penting dalam mempengaruhi eksistensi dan keberlanjutan TPST/TPA. Juga dalam upaya memperbaiki pengelolaannya. Pada akhir tahun 2001 pasca demo penutupan pembuangan sampah itu selama lebih dari 21 hari sejumlah tokoh masyarakat sekitar meminta, bahasa kerasnya menuntut siapa pun yang mengelola agar menggunakan teknologi modern yang ramah lingkungan.

Disini ada sejumlah tokoh punya peran penting yang terlibat dalam pengelolaan TPST/TPA secara langsung maupun yang bertindak hanya sebagai pengontrol atau pemantau. Istilah tim Monitoring dan Evaluasi (Monev) TPST Bantargebang dan TPA Sumurbatu, Konsultan Independen dari Universitas terkemuka di Indonesia. Para tokoh lokal dan belakangan pendatang yang sudah menjadi warga setempat. Mereka terdiri dari lurah dan manta kepala desa/lurah, staf kelurahan, Ketua RW, Ketua RW, Ketua dan staf Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM), Karang Taruna, ketua-ketua Ormas, Yayasan, LSM/NGOs, wartawan, ustad/pemimpin agama, guru, pakar persampahan, dll.

Peran dan kerja para aktivis, lembaga lingkungan dan persampahan serta kemanusiaan melakukan advokasi/pendampingan, pemberdayaan masyarakat (community development) atau kelompok-kelompok pemulung, kegiatan pendidikan, kemanusiaan, dll. Sejumlah lembaga, diantaranya Asosiasi Pelapak dan Pemulung Indonesia (APPI), Koalisi Persampahan Nasional (KPNas), Yayasan Pendidikan Lingkungan dan Persampahan Indonesia (YPLHPI), Komunitas Pemulung Bantargebang Sejahtera, Yayasan Al-Muhajirin Bantargebang (YAB), Perkumpulan Pemulung Indonesia Maju (PPIM), MUI Kec. Bantargebang, dll.

Dalam konstelasinya banyak kelompok kepentingan yang memiliki peran terhadap keberlangsungan TPST Bantargebang dan TPA Sumurbatu. Belum lagi orang-orang partai politik (Parpol), underbow Parpol dan DPRD, penguasa Kota Bekasi, Kecamatan Bantargebang, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Pemerintah Pusat yang memiliki tangan-tangan di sekitar TPST/TPA.

Banyaknya pihak berkepentingan terhadap TPST Bantargebang dan TPA Sumurbatu tersebut disebabkan adanya tipping fee atau dana kompensasi sampah dan proyek-proyek yang ada di dalamnya. Bahkan seringkali terjadi friksi-friksi kepentingan memperebutkan tipping fee tersebut.

Selanjutnya, tipping fee itu direduksi istilahnya oleh masyarakat sekitar TPST/TPA sebagai ”uang bau”, setiap KK mendapat Rp 100.000/KK/bulan, naik menjadi 200.000/KK/bulan, naik lagi menjadi Rp 300.000/KK/bulan. Besaran tipping fee, sekarang lebih populer uang bau semakin besar, sekarang (2024) menjadi Rp 400.000/KK/bulan dicairkan setiap tiga bulan sekali. Uang bau fee merupakan salah satu daya tarik terbesar TPST Bantargebang.

Intervensi Pemerintah

Pelaku circular economy aras bawah itu sedang mengalami kesulitan, hambatan oleh kebijakan dan pasar bebas. Maka perlu intervensi dan perlakuan khusus dari pemerintah, seperti apa yang diminta mereka?

Beberapa poin penting yang diingginkan mereka telah disampaikan di berbagai forum, seperti Jambore Indonesia Bersih dan Bebas Sampah (JIBBS) 2021. Kegiatan akbar itu diselenggarakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehuatanan, bekerja sama dengan multi-stakeholder.

Juga pada forum/rapat resmi di Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas), Workshop A Systems Analysis Approach to Reduce Plastic Waste in Indonesian Societies (PISCES)” di Nusa Dua Bali pada 19 Mei 2022. Kementerian Perindustian, Pemprov DKI Jakarta, Pemerintah Kota Bekasi, Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (ADUPI), dll.

Beberapa point tersebut yang mesti dilakukan, sebagai berikut: (1) Melakukan advokasi/pendampingan berkelanjutan. (2) Memberikan fasilitasi dan dukungan permodalan, teknologi, pasar dan informasi daur ulang secara cepat. (3) Memberi insentif dan penghargaan. (4) Memberi disinsentif/sanksi hukum bagi pencemar. (5) Menjaga stabilitas harga sampah pungutan domestik. (6) Mengurangi dan menyetop impor sampah dan bahan baku biji plastik. (7) Memberlakukan kebijakan dan peraturan tentang Extended Producer Responsibility (EPR).

Permintaan tersebut telah direspon Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan meminta pemerintah kabupaten/kota memperhatikan permintaan lembaga dan komunitas pemulung tersebut. Tetapi, dalam perjalanan tidak mudah karena banyak faktor penghambat.

Permintaan yang paling sulit terealisasi adalah tetang harga yang tinggi dan stabil, atau stidaknya harga sampah pungutan stabil. Karena adanya kekuatan besar, kekuatan pasar bebas dan pemilik modal besar sebagai penentunya.

Apalagi, untuk mencukupi bahan baku sektor industri daur ulang dalam negeri masih banyak mengimpor dari luar negeri.

Berkaitan dengan harga plastik, pemerintah tampaknya lemah dan tidak bisa berbuat terlalu banyak. Meskipun menggalakan penerapan 3R sampah, circular economy, dll tetap kalah dengan pasar bebas.(Red). Rabu (25/09/2024)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *