Ancaman Serius, Limbah Medis Berlabuh Di Pesisir Muara Gembong                               Oleh : Bagong Suyoto

WILTAnews.Online.Kabupaten Bekasi – Apa kesalahan dan dosa pesisir Muara Blacan Muaragembong Bekasi Utara sehingga harus menanggung beban berat serangan limbah medis?!! Limbah medis itu jumlahnya semakin banyak berlabuh di pesisir dan laut.

Ketika terjadi Covid-19 berlangsung tahunan, boleh jadi kuantitas limbah medis yang mengendap sangat banyak. Wilayah ini diserang sampah padat, seperti plastik, styrifoam, busa, pembalut wanita, pempers, ban/karet, dll, juga yang sangat mengkhawatir limbah cair bercampur logam berat dari sejumlah pabrik. Muaragembong jadi tong raksana limbah.

Read More

Rasanya sedih, mengerikan dan menjengkelkan, Muara Blacan Muaragembong menanggung dosa-dosa pengelolaan limbah medis yang buruk di darat. Limbah medis itu berasal dari fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat (Fasyankes); rumah sakit, klinik, Puskemas, dll.

Mestinya tempat itu merupakan ecotourisme, hutan mangrove dan wilayah tambak udang dan ikan bandeng sangat potensial. Merupakan potensi ekonomi luar biasa jika dikembangkan dengan melestarikan kearifan lokal.

Tetapi tangan-tangan manusia dan aktivitasnya telah mencemari dan merusak alam Muara Blacan Muaragembong! Panorama hutan mangrove, pesisir dan laut nan indah mendapat serangan bertubi-tubi setiap detik, setiap menit, setiap jam, setiap hari dan bulan dari daratan.

Muaragembong berbatasan dengan laut Jawa di utara, Teluk Jakarta di barat, Kabupaten Karawang di timur, dan Kecamatan Babelan di Selatan. Jaraknya sekitar 64 Km dari Kota Bekasi. Luasnya sekitar 14.009 Ha atau 161 Km2. Terdiri dari 6 desa, yaitu: Jayasakti (220 Ha), Pantai Mekar (235 Ha), Pantai Sederhana (65 Ha), Pantai Bahagia (265 Ha), Pantai Bakti (2,90 Ha), dan Pantai Harapan Jaya (275 Ha). Kawasan pemukiman penduduk di pinggir laut dengan luas lahan keseluruhan 14.009 Ha didominasi oleh lahan perairan. (BPS, 2014).

Tambak perikanan mencakup luas lahan 10.125 Ha menjadi mata pencaharian utama 60 persen dari total penduduk 36.181 jiwa pada tahun 2014, dengan tingkat kepadatan 253,42 jiwa/Km2. Pada tahun 2022 jumlah penduduknya 40.313 jiwa terdiri 20.643 lelaki dan 19.670 Perempuan. (BPS, 2023).

Menurut suatu laporan disusun Nonon Sabanon dkk (Universitas Nasional Jakarta), wilayah Muaragembong diketahui sebagai wilayah dengan tingkat kerusakan lingkungan yang cukup tinggi. Kondisi tersebut salah satunya terjadi karena hilangnya hutan mangrove secara besar-besaran hingga hanya menyisakan sebesar 3% untuk melindungi wilayah Muaragembong dari abrasi pantai. Faktor terbesar hilangnya hutan mangrove yaitu pengalih fungsian lahan menjadi kawasan non hutan yang digunakan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat sepert pemukiman penduduk, industri, pertambakan dan sebagainya (Fatchiya, 2008).

Selanjutnya, Anhamto et al (2014) dalam penelitiannya pada tahun 2005 sebanyak 93,5 % kawasan mangrove di Kecamatan Mangrove di alih fungsikan oleh masyarakat sebagai tambak ikan, lahan pertanian, pemukiman serta beberapa fasilitas sosial. Meningkatnya pengalih fungsian hutan mangrove tersebut membuat air tanah yang digunakan masyarakat untuk kehidupan sehari-hari semakin terasa payau bahkan sudah terasa asin, sehingga menyebabkan masyarakat sekitar khususnya masyarakat Desa Pantai Bahagia kesulitan untuk mendapatkan air tawar sebagai pemenuhan kehidupan sehari-hari.

Pada 30-31 Agustus 2024, sekelompok tim dipimpin Bang Ajis atau Kuncen menyelusuri pesisir Muara Blacan, dalam pemantauannya menemukan limbah medis tertambat di akar-akar mangrove. Merupakan bukti nyata adanya limbah medis di Muara Blacan, berupa selang dan wadah infus. Bahkan, selang infus itu masih ada darahnya, merah. Bang Kuncen, tidak tahu dari mana asal limbah medis itu.

Muara Blacan di depan empang/tambak udang Pantai Mekar, sampah berceceran, sampah dari CBL (Cikarang Bekasi Laut), Muara Nawan, BKT (Banjir Kanal Timur) dan Kali Cilincing, sampahnya berceceran di pinggir laut, dari ujung ke ujung. Sepanjang pesisir, dari ujung sana.

Sejumlah kali di Kabupaten/Kota Bekasi, Provinsi DKI dan dari Purwakarta, Karawang bermuara di Muaragembong. Seperti Kali Citarum melewati beberapa wilayah kabupaten, ujungnya di Muaragembong. Air yang mengalir itu membawa limbah padat, cair dan sedimentasi (lumpur), menyebabkan pendangkalan dan merusak mangrove.

Kekacauan pengelolaan sampah/limbah di darat berdampak buruk di perairan. Hipotesisnya, berkorelasi positip dan telah dibuktikan secara ilmiah. Fakta itu sudah bicara sangat kuat. Kuncen dkk menjelaskan fakta obyektif tersebut.

Bukti valid yang ditemukan Bang Kuncen dkk mungkin hanya serpihan kecil dari gunung es. Mungkin, sebagian besar sudah mengendap dan terkubur di dasar laut bercampur dengan limbah padat dan limbah cair.

Sebulan lalu (29/7/2024), Bang Kuncen Ketua Kelompok Usaha Bersama (KUB) Kerang Dara Kpg Poncol Desa Pantai Mekar Kecamatan Muaragembong menceritakan masa keemasan nelayan dan petambak sebelum tahun 2000-an. Kemudian datang suatu masa yang menimbulkan petaka, kerugian besar dan kesusahan. Lumbung dolar berubah jadi lumbung kesedihan.

Lanjut Bang Kuncen, dulu, Muara Blacan Muaragembong merupakan lumbung dolar. Banyak rumpon hasilnya luar biasa bagus. Madang sero laut, alat tangkap ikan ramah lingkungan memberi manfaat nafkah cukup besar. Ukurannya, 1 ins x 1,4 ins. Penghasilan kerja selama 15-20 hari mencapai Rp 50 juta hanya dari udang. Belum dari kepiting, ikan, dll.

Dampak yang paling serius akibat pencemaran limbah padat dan cair. Berbagai jenis plastik, styrifoam, dll bercampur limbah cair yang mengandung berbagai logam berat mengendap di dasar dan permukaan Muara Blacan. Ikan semakin jarang, tambak udang, ikan bandeng tidak produktif, banyak yang mati.

Lanjut Kuncen, kondisi tambak udang mengalami situasi tragis sekali, boleh dibilang sebagai efek kegiatan manusia yang merusak alam, perubahan iklim, dan faktor lain. Tambak udang sekitar 80% terkena abrasi. Ketika pasang, air naik, banyak udang terbawa air ke laut. Sekitar 2.020 Ha wilayah Muara Blacan terkena abrasi, sedang tambak ribuan hektar.

Kita harus hati-hati jangan sampai kasus Penyakit Minamata di Jepang terulang di Muaragembong. Keanehan mulai terlihat di pertengahan 1950 ketika banyak kucing yang kejang-kejang dan jatuh ke laut. Tidak lama, penyakit aneh mulai bermunculan di seluruh penjuru kota. Banyak warga mengeluhkan mati rasa sekujur tubuh, kesulitan dalam mendengar dan melihat, serta tremor pada tangan dan kaki. Beberapa orang bahkan terlihat seperti kurang waras, berteriak tanpa henti dan kehilangan kendali atas tingkah lakunya. (National Project Manager GOLD-ISMIA, 2019).

Kemudian, pada 1 Maret 1956, seorang dokter di Jepang mempublikasikan laporan kasus epidemi yang menyerang sistem saraf pusat. Ini adalah temuan resmi pertama yang menandakan kemunculan penyakit Minamata yang disebabkan oleh keracunan merkuri. Lebih dari 2.000 orang meninggal dan 17.000 warga harus menghabiskan hidupnya dengan kondisi lumpuh, kerusakan saraf, kehilangan penglihatan dan kemampuan berbicara. Merkuri yang ditransfer dari ibu ke janin juga banyak menyebabkan keguguran. Bayi yang terlahir pun harus menderita kekurangan fisik dan keterbelakangan mental seumur hidup. 

Ini semua berawal dari pengelolaan limbah merkuri yang buruk oleh Chisso Co. Ltd, pabrik pupuk kimia, asam asetat, vinil klorida, dan plasticizer (zat pelentur plastik). Betapa tidak, sekitar 200 sampai 600 ton limbah merkuri dibuang begitu saja ke Teluk Minamata sejak tahun 1932. Merkuri ini kemudian bereaksi dengan bakteri di dalam ikan-ikan yang terpapar dan bertransformasi menjadi bentuk merkuri yang paling berbahaya, yaitu methylmercury atau merkuri organik. Penduduk Minamata yang mayoritas nelayan, mengonsumsi ikan dari Teluk Minamata hampir setiap hari. Tanpa disadari, ikan yang tadinya menyehatkan berubah jadi racun mematikan.

Limbah medis bocor berlabuh di Muara Blacan Muaragembong merupakan permasalahan serius sekali. Itu adalah keteledoran dan kesalahan fatal pemilik limbah medis dan pemerintah pusat dan daerah?! Berarti tidak ada pendataan, pengawasan, pemantauan dan penegakkan hukum terhadap pemilik limbah medis secara ketat, tegas dan berkelanjutan.

Padahal, limbah medis merupakan kategorial limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) harus dikelola secara profesional oleh perusahaan resmi. Perusahan tersebut harus mendapat ijin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI.

Dasar hukum pengelolaan limbah medis, diantaranya Pasal 17 ayat (3) UUD 1945; UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Setelah terbitnya 2 (dua) PP, khususnya PP No. 22/2021 maka PP No. 101/2014 tentang Pengelolaan Limbah B3 dinyatakan tidak berlaku, kemudian Pengelolaan Limbah B3 ini dimasukkan dalam Bab VII dari PP No. 22/2021 ini. Selanjutnya, Permen Menteri LHK No. 6/2021 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Permen Menteri Kesehatan RI No. 18/2000 tentang Pengelolaan Limbah Medis Fasilitas Pelayanan Kesehatan Berbasis Wilayah.

Menurut Permenkes No 18/2020, Limbah Medis adalah hasil buangan dari aktifitas medis pelayanan kesehatan. Dan fasilitas pelayanan kesehatan yang dimaksud adalah suatu alat dan/atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.

Bahaya limbah medis jika tidak dikelola dengan baik. Menurut data WHO, pengelolaan limbah ini yang salah bisa memicu bermacam bahaya sebagai berikut: (1) Infeksi. Pembuangan limbah medis yang sembarangan menyebabkan berbagai macam infeksi karena mengandung patogen penyebab berbagai infeksi seperti Infeksi saluran pernapasan (tuberculosis dan Streptococcus pneumonia) dan virus campak. Selain itu medis juga meningkatkan risiko hepatitis A, B, atau C, hingga HIV dan Aids yang menular melalui barang yang terkontaminasi darah atau cairan tubuh.
 
(2) Bahan kimia berbahaya. Pembuangan limbah medis yang tidak tepat juga dapat memicu keracunan karena bahan kimia dalam limbah medis meningkatkan risiko penyakit pernapasan atau kulit. (3) Zat genotoksik. Riset dari Finlandia menemukan bahwa zat genotoksik pada limbah medis dapat meningkatkan risiko keguguran dan meningkatkan senyawa mutagenik pada tubuh yang memicu kanker pada sel somatik.

(4) Zat Radioaktif. Limbah medis yang tidak terkelola dengan baik menimbulkan zat radioaktif yang menyebabkan sakit kepala, pusing, mual, muntah, menyebabkan luka bakar pada kulit atau sindrom radiasi akut. Zat radioaktif juga dapat mengakibatkan efek kesehatan jangka panjang seperti kanker dan penyakit kardiovaskular.

Limbah medis masih banyak dibuang di sembarang tempat, seperti DAS dan badan sungai, terus mengalir ke pesisir pantai dan laut Jawa. Modusnya limbah medis itu dicampur dengan sampah rumah tangga. Ada juga yang dibuang ke TPA sampah, seperti TPA Burangkeng. Ada yang dikelola para pengepul di sekitar TPA/TPST, dan sisa-sisa sortiran dibuang ke TPA/TPST. Alasannya, limbah medis dibuang sembarangan, biayanya lebih murah dan praktis, sementara pengepul berargumentasi masih punyai nilai ekonomi.

Kalau dikelola pihak ketiga, pemilik limbah medis harus membayar Rp 5.500 sampai 10.000/kg. Jika 1 ton harus membayar Rp 5.500.000 sampai Rp 10.000.000. Biaya pengelolaan limbah medis melalui pihak ketiga dianggap mahal.

Limbah medis dibuang sembarangan meskipun kuantitas sedikit atau banyak, dibuang ke DAS dan badan sungai, pesisir dan laut maupun ke TPA/TPST merupakan bentuk pelanggaran serius. Mereka sangat tidak bertanggungjawab terhadap lingkungan, kesehatan manusia dan makhluk lain. Jika tertangkap harus dipenjarakan dan didenda maksimal.

Pemerintah, terutama pemerintah kabupaten/kota harus melakukan pendataan, pemantauan dan pengawasan terhadap seluruh Fasyankes. Apalagi yang beroperasi di dekat kali. Jika terdapat pelanggaran harus dilakukan penegakkan hukum secara tegas. Berikutnya, pemerintah bersama stakeholders lain melakukan advokasi berkelanjutan. Untuk membangun kesadaran dan gerakan bersama agar Muaragembong Lestari.(Red).                                                             *Senin 02/09/2024*

Penulis : Bagong Suyoto                             Ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNas)                                                             Ketua Yayasan Pendidikan Lingkungan Hidup dan Persampahan Indonesia (YPLHPI)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *